Dari Laut Madongka, Syahrul Said Belajar Arti Menyatu dengan Rakyat

0
62
Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Syahrul Said bersama nelayan di Desa Madongka, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah memasang rumpon, Jumat (3/10/2025).

Tak sekadar agenda reses, perjalanan Syahrul Said ke laut Madongka menjadi pelajaran berharga tentang arti kedekatan dan empati seorang wakil rakyat.

Ketua Komisi II DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Syahrul Said, punya cara berbeda dalam menyerap aspirasi masyarakat. Di sela agenda reses masa sidang III tahun 2025, ia memilih turun langsung ke laut bersama para nelayan di Desa Madongka, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, membantu mereka memasang rumpon dan berdoa bersama agar laut tetap menjadi sumber rezeki yang melimpah.

Reses yang Tak Biasa di Tengah Laut

Pagi itu, Jumat (3/10/2025), matahari baru menanjak di ufuk timur. Suara mesin ketinting memecah kesunyian laut Madongka. Kapal kayu kecil itu melaju perlahan, membawa beberapa nelayan dan satu sosok yang jarang terlihat dalam aktivitas seperti ini: seorang anggota DPRD provinsi.

Di atas perahu, politisi Partai NasDem itu ikut membantu menurunkan rumpon baru — alat bantu nelayan untuk mengumpulkan ikan di laut. Ia tak segan menarik tali, mengangkat jangkar, hingga memastikan posisi rumpon tepat di titik yang telah ditentukan.

Sebelum rumpon diturunkan, seorang tokoh agama memimpin doa. Semua peserta menundukkan kepala, memohon keselamatan dan rezeki yang baik. Tradisi sederhana yang masih dijaga masyarakat pesisir itu menjadi simbol kearifan lokal yang penuh makna.

“Ini bukan sekadar simbolik, tapi bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai masyarakat kita yang masih hidup dari laut,” ujar Syahrul Said usai kegiatan.

Mendengar di Tengah Ombak

Berbeda dengan reses yang biasanya digelar di balai atau aula pertemuan, kali ini Syahrul memilih membaur di tengah aktivitas masyarakat. Ia ingin mendengar langsung suara rakyat — bukan lewat laporan, tapi dari pengalaman nyata di lapangan.

“Reses tidak harus selalu formal. Saya ingin melihat dan merasakan langsung kehidupan masyarakat, khususnya nelayan kita di Madongka,” ujarnya.

Di tengah perjalanan laut, perbincangan hangat pun mengalir. Para nelayan bercerita tentang hasil tangkapan, harga bahan bakar serta tantangan menjual ikan ke pasar yang jauh. Syahrul mendengar dengan seksama, sesekali mengangguk dan mencatat hal-hal penting yang akan dibawanya ke rapat dewan.

Baginya, reses bukan hanya tentang laporan aspirasi, tetapi juga tentang menumbuhkan empati — memahami bagaimana kebijakan di atas kertas berdampak pada kehidupan nyata masyarakat di bawah.

Kedekatan yang Membangun Kepercayaan

Bagi warga Madongka, kehadiran seorang anggota DPRD di tengah laut adalah hal yang langka. Mereka merasa dihargai, didengarkan, dan diperhatikan. Tak ada jarak antara pejabat dan rakyat, tak ada sekat antara politik dan kemanusiaan.

“Saya percaya, kebijakan yang baik lahir dari telinga yang mau mendengar dan kaki yang mau melangkah,” kata Syahrul dengan nada reflektif.

Ia menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan kebutuhan masyarakat pesisir — mulai dari sarana tangkap ikan, akses bahan bakar yang terjangkau, hingga pelatihan peningkatan kapasitas nelayan agar lebih mandiri.

Dari Laut, Pelajaran Tentang Pengabdian

Kegiatan sederhana di laut Madongka itu mungkin tak tercatat sebagai agenda besar politik. Namun di sanalah esensi pengabdian itu hidup — di antara ombak, peluh, dan doa nelayan yang tak kenal lelah mencari rezeki.

Syahrul Said belajar bahwa menjadi wakil rakyat bukan hanya tentang berbicara di ruang sidang, melainkan tentang hadir dan menyatu dengan rakyat. Dari laut, ia menemukan makna sejati pelayanan publik: mendengar, memahami, dan berbuat dengan hati.

Penulis: Kasim

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini