HELIONEWS.COM – Teater Sora akan menggelar sebuah pawai teater site-specific yang menyusuri jejak tradisi lisan Buton, kabanti, dalam lanskap sosial yang multikultural. Kegiatan ini akan dimulai dari 13 hingga 15 Juni 2025.
Penggagas pertunjukan, Chendy Ariswan Latief menjelaskan, pertunjukan ini akan digelar oleh Teater Sora yang merupakan bagian dari program Penciptaan Karya Kreatif Inovatif (PKKI) Dana Indonesiana 2025. Program ini mendukung inisiatif pelestarian budaya melalui penciptaan seni pertunjukan berbasis komunitas dan tradisi lokal.
Kata dia, pawai teater ini mengangkat tema ‘Banti to Akoro’ yang berarti ‘Suara untuk Akur’. Pertunjukan ini tidak hanya menampilkan kabanti sebagai warisan, tetapi sebagai praktik hidup yang masih relevan dalam menghadapi tantangan konflik sosial, narasi besar yang menutupi narasi warga dan krisis identitas maupun stigma negatif yang berkembang di Buton.
Ada empat titik pertunjukan sebagai narasi perjalanan kabanti.
Pertama, Benteng Keraton Buton, Jumat, 13 Juni 2025 pukul 19.00 Wita menjadi simbol kekuasaan dan pusat spiritual, tempat kabanti dahulu diambil dan ditulis oleh elit dan pemuka agama.
Pertunjukan dimulai dari Masjid Agung hingga gerbang Lawana Lanto, menggambarkan turunnya pesan dari ruang transenden menuju masyarakat. Dalam bentuknya kegiatan ini kembali mengajak masyarakat pawai bersama 500 padamara/pelita yang akan mengelilingi Benteng Keraton, pembacaan kabanti, tari mangaru, rebana maludu yang sudah jarang terdengar, artistik buah nenas sebesar 3 meter, dan lain-lain.
Kedua, Bus Rute Loji–Topa, Sabtu (14/6/2025), pukul 13.00 Wita. Bus akan menjadi sebuah ruang mobilitas sosial kontemporer.
Bus menjadi simbol dari perubahan,
konflik, dan kesadaran masyarakat modern. Dalam bentuknya peserta akan menaiki bus. Bus akan berhenti di pasar, pengrajin gerabah.
Ketiga, Kapal Rute Topa–Kotamara, Sabtu, (14/6/2025) pukul 16.00 WITA. Pada lokasi ini, Teater Sora akan mengangkat kabanti pelayaran dan diaspora, kapal menjadi metafora sekaligus ruang mempertanyakan kembali identitas ke-Buton-an dalam pusaran kolonialisme.
Pertunjukan berlangsung di tepi pesisir Baubau. Bentuknya peserta akan diajak melihat Kota Baubau dari perspektif pesisir dengan menaiki kapal, pekabanti, aksi bersih-bersih di Kotamara, dan akan ada pertunjukan.
Lokasi keempat, Sumur Umum Nganganaumala, Minggu, (15/6/2025), pukul 16.00 Wita. Titik terakhir ini menampilkan kabanti yang telah melebur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Di lokasi ini, syair kembali ke rakyat: Sumur Umum dihadirkan kembali sebagai ingatan kolektif dengan menghadirkan ruang dapur
sebagai tempat di mana ibu-ibu atau siapapun bisa bercerita masa lalu-kini secara intim dan dekat. Bentuknya masak-masak hingga ditutup dengan makan-makan bersama warga.
“Dengan memindahkan panggung ke jalanan, sumur, bus, dan laut, pertunjukan ini mengajak masyarakat untuk tidak hanya menonton, tapi juga ikut menjadi bagian dari cerita,” ungkap Chendy, Senin (9/6/2025).
Diketahui, pertunjukan ini digagas oleh Chendy Ariswan Latief, seniman teater asal Baubau dan mahasiswa Pascasarjana Seni di ISI Yogyakarta penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI).
Chendy dikenal melalui karya-karya teater yang memadukan konsep diri warga lokal, konflik sosial, dan metode site-specific berbasis ruang hidup masyarakat.
Pertunjukan ini diproduksi oleh Teater Sora, sebuah kolektif teater dan riset budaya yang berfokus pada revitalisasi tradisi dan kritik sosial melalui media seni pertunjukan
kontemporer. Teater Sora menghadirkan teater sebagai ruang temu antara generasi, budaya, dan nilai hidup.
Reporter: Surahman Djunuhi